Henry G Widdowson dari Universitas Wina, penulis makalah ini, mempertanyakan pendapat Alan Davies yang dikenalnya sangat baik sebagai salah satu seniornya, tentang ujian bahasa. Dengan mempergunakan pengalaman Alan Davies, Widdowson (2001) mengajak pembaca untuk berusaha menelaah suatu masalah yang kerap kali sukar dipahami, yaitu berkaitan dengan keterujian kompetensi komunikatif. Dalam makalah ini, Widdowson (2001) menggarisbawahi bahwa ia menggunakan pendekatan yang informal dan tanpa pengetahuan memadai mengingat ia bukanlah seorang penguji dan hanya memiliki pengetahuan selintas saja.
Widdowson (2001) memulai analisisnya dengan melihat pendapat Dell Hymes tentang kompetensi komunikatif. Hymes mengemukakan empat unsur ciri dari kompetensi, sebagai suatu penilaian kemampuan seseorang dalam waktu tertentu dan untuk tingkat tertentu, yaitu: mungkin (possible), layak (feasible), pantas (appropriate), dan terlaksana (done). Di sinilah terletak masalahnya. Apabila keempat unsur ini merupakan komponen dari kompetensi komunikatif, unsur-unsur tersebut semestinya harus menjadi suatu kesatuan kompetensi dan bukan terpisah-pisah.
menurut Widdowson, pendapat Hymes tentang kompetensi komunikatif lebih menitikberatkan pada penilaian mutlak dan terpisah mengenai keempat komponen tersebut. Penilaian itu sendiri merupakan suatu analisis dan tindakan non-komunikatif. Kompetensi komunikatif ala Hymes justru malah mengabaikan komunikasi itu sendiri. Komunikasi, berbeda dari yang dianggap oleh Hymes, tidaklah melulu berkisar mengenai pengindentifikasian unsur-unsur berbeda, melainkan justru harusnya menjabarkan dan menyatukan relasi diantara mereka.
Setelah Hymes, Michael Canale mengenalkan pula empat unsur kompetensi komunikatif, yaitu tata bahasa, sosiolinguistik, wacana, dan strategis. Kendati demikian, relasi konsep Canale dengan Hymes masih tidak terlalu jelas. Sama halnya dengan Hymes, hubungan antara keempat unsur ini juga tidak dijumpai pada Canale. Walaupun kompetensi tata bahasa memasukkan pengetahuan leksikal, tidak didapati gambaran yang jelas tentang bagaimana kompetensi ini berhubungan dengan kompetensi lainnya. Demikian pula kompetensi wacana, yang berhubungan dengan bagaimana elemen linguistik bergabung membentuk unit komunikatif dalam lisan atau tulisan, tidak pula terlihat berhubungan erat dengan kompetensi tata bahasa dan sosiolinguistik walaupun ketiganya berkecimpung di tataran yang sama.
Lebih jauh lagi, menurut Widdowson (2001), komponen wacana hanya bisa ada sebagai fungsi pengikat antara tata bahasa dan sosiolinguistik dan tanpa fungsi itu maka wacana akan tidak memiliki nilai komunikatif apapun. Sementara itu, kompetensi strategis ditengarai oleh Canale sebagai strategi komunikasi verbal dan non-verbal yang meningkatkan efektifitas komunikasi. Definisi itu justru memperlihatkan bahwa komponen strategis tak lebih sebagai proses “mengaitkan” ketiga komponen lainnya sesuai kebutuhan. Oleh sebab itu, nampak bahwa kompetensi yang dimaksud oleh Canale tak lebih dari perpaduan fitur-fitur kompetensi komunikatif yang dikembangkan dari Hymes dengan mengulang kesalahan yang sama.
Perumusan konsep kompetensi selanjutnya adalah skema kompetensi bahasa yang diajukan Bachman (1990), kompetensi bahasa terbagi ke dalam dua kelompok besar: kompetensi organisasional dan kompetensi pragmatis. Kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi ilokusi berada di bawah kompetensi pragmatis. Setiap kompetensi turunan di tingkat kedua ini mempunyai lagi turunan berikutnya sebanyak empat untuk masing-masing. Sementara kompetensi organisasional mengelompokkan kompetensi tata bahasa dan tekstual di dalamnya. Sebanyak 14 komponen kompetensi baru muncul dalam model yang disusun Bachman.
Hal tersebut tentu saja semakin memperlebar perbedaan yang dibuat, semakin besar pula masalah dalam mencari keterkaitan di antara komponen-komponen tersebut. Lebih sulit lagi, sebagaimana yang ditengarai Widdowson, banyaknya komponen dalam skema Bachman itu justru memutus tiap-tiap komponen dari hubungan relasional antara satu dan lainnya. Sebagai contoh, pengetahuan mengenai kosakata di sisi paling kiri dalam skema Bachman, berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan apapun dengan fungsi-fungsi imajinatif yang ada dalam satu kelompok besar kompetensi organisasional. Hubungan antara komponen ini menjadi lebih sulit bila pengetahuan kosakata ditilik dengan komponen ungkapan natural dan idiomatik yang terletak di sisi paling kanan dalam diagram Bachman. Sebagai akibatnya, komponen-komponen di dalam tiap-tiap model berdiri terpisah dan tidak saling berhubungan sehingga tidak memperlihatkan sebagai satu kesatuan yang utuh.
Ketiga model kompetensi komunikasi dari Hymes, Canale dan Bachman ini juga berlandaskan pada anggapan bahwa semakin lebar klasifikasi yang disusun, semakin banyak komponen kompetensi, semakin besar pula nilai operasionalnya. Namun kenyataannya justru membuktikan hal yang berlawanan. Semakin luas klasifikasi dari analisis yang dihasilkan, semakin jauh ia dari kenyataan. Oleh sebab itu, muncul suatu paradoks: semakin sempurna kerangka kerja pengujian komunikatif dikembangkan, semakin jauh ia dari fenomena yang diuji.
Untuk menyelesaikan paradoks ini, Widdowson (2001) mengajukan kompetensi linguistik untuk dapat menjelaskan keterkaitan antara komponen-komponen komunikatif. Kompetensi linguistik merupakan bagian dari kemampuan berkomunikasi, dan bahkan merupakan bagian pusatnya. Oleh sebab itu, pengetahuan linguistik tidak lagi terpisah, tetapi terintegrasi secara natural. Pengetahuan linguistik memasukkan komponen-komponen lain dalam bentuk abstrak ke dalam dirinya. Dalam kacamata ini, komunikasi tetap ada dalam kode atau sistem formal sebagai satu valensi intrinsik. Oleh karena itu, apa yang kita dapati adalah kombinasi dari berbagai komponen yang berbeda dan bisa saling berhubungan dan terintegrasi.
Widdowson (2001) mengusulkan untuk mengadopsi prinsip kesatuan, dan memfokuskan perhatian pada pelajar menginternalisasikan potensi komunikatif dalam bahasa. Kesahihan ujian bahasa bersanding dengan valensi yang diukurnya. Dengan demikian, menurut Widdowson (2001), ujian bahasa dapat menjadi seni yang mungkin. Oleh sebab itu, kita tidak mengajarkan bahasa sebagai komunikasi, tetapi justru mengajarkan bahasa untuk berkomunikasi.
Daftar Pustaka
Widdowson, H. G. (2001). Communicative language testing: the art of the possible, in Elder, C. et.al. (eds.) Studies in Language Testing 11: Experimenting with Uncertainty – Essays in Honour of Allan Davies, 12-21. Cambridge: The Press Syndicate of the University of Cambridge.