Desa Cikedung, Indramayu menjadi saksi bisu di mana kebajikan dan kemungkaran berjalan beriringan dalam satu ruang dan waktu. Mereka tidak saling mengusik maupun menghilangkan keberadaan satu sama lain. Pada tiapnya memiliki pemujanya masing-masing. Dan semuanya terjebak dalam satu payung mentalitas kemiskinan. Tetapi bagaiamana bisa kemungkaran dibiarkan di saat ada yang berlomba-lomba melakukan kebajikan? Apakah itu bentuk kebijaksanaan? Ataukah mentalitas kemiskinan yang telah menjelma menjadi kebodohan?
Kedung Dharma Romansa menampilkan Cikedung dengan sekelumit persoalan yang terjadi melalui novel Kelir Slindet. Novel ini memiliki gaya khas dalam menceritakan fenomena sosio dan kultural yang terjadi di masyarakat. Meskipun dapat dibilang sebagai fenomena yang ganjil, penulis mampu mengajak pembaca untuk melepaskan stigma yang telah terpatri dalam benak pembaca dan memasuki dimensi kehidupan masyarakat Cikedung. Seperti misalnya bagaimana masyarakat merayakan Lebaran. Sebagian masyarakat mengisinya dengan berkumpul bersama keluarga. Berbagi rezeki dengan teman-teman dan kerabat setelah setahun menjadi buruh di Ibukota. Dan sebagian lainnya asyik mabuk dalam pesta minuman oplosan. Paradoks lainnya yaitu bagaimana masyarakat lekat akan keberadaan pesantren dengan pelacuran (telembuk), pelaksanaan pengajian dengan panggung hiburan dangdut, serta tapukan rebana dengan suara sember nan nyaring musik tarling.
Kisah utama yang diangkat dalam novel ini adalah tokoh Safitri. Seorang remaja berusia 15 tahun dengan kecantikannya yang sederhana dan kemerduan suaranya. Safitri merupakan pemain rebana di mushola tempatnya mengaji, tapi ia juga bercita-cita untuk menjadi penyanyi dangdut tarkenal. Sekelumit kisah Safitri bergulir dari bagaimana dirinya selalu berada di tengah keributan antara Ibunya, Saritem, seorang mantan pelacur (telembuk) dengan Ayahnya, Sukirman, seorang petani kecil yang selalu menghabiskan uangnya untuk mabuk, menyewa telembuk, dan berjudi. Perkara Safitri bertambah tatkala dua bersaudara dari keluarga terpandang, Mustafa dan Mukimin, memperebutkan cintanya. Hal ini berujung pada desas-desus yang dilebih-lebihkan oleh masyarakat kampungnya. Safitri pun harus menanggung malu atas segala julukan yang disematkan padanya. Anak dari seorang telembuk dan seorang pemabuk serta penjudi, yang bermimpi untuk menjadi bagian dari keluarga terpandang di kampungnya. Batin Safitri pun berkecamuk. Safitri tertekan, malu, frustasi, depresi, dan mulai kehilangan kewarasannya. Safitri pun melampiaskan segala emosinya dengan berkecimpung dalam dunia dangdut tarling kampung.
Novel ini mampu membiaskan batas ‘hitam’ dan ‘putih’ dengan sengaja menyandangkan berbagai fenomena yang kontradiktif. Kondisi masyarakat desa Cikedung ini bisa juga menjadi epitome bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Bangsa yang kental akan nilai agama namun masih membiarkan tindakan yang bertentangan dengan nilai agama terjadi. Selain itu, pembaca diajak untuk turut memahami karakter setiap tokoh melalui pengalaman hidup yang dilaluinya serta lingkungan sosial yang lekat padanya. Hal ini memberikan kemampuan pada pembaca untuk tidak semena-mena memberi justifikasi pada suatu fenomena atau seseorang. Tindakan yang sesungguhnya saat ini sangat lekat dengan kehidupan masyarakat kita.
Kelir Slindet | Kedung Darma Romansha | PT Gramedia Pustaka Utama | Maret 2014 | 256 halaman | ISBN 978-602-03-0356-7